GUNUNG BANCAK TELAH DI TAKLUKAN OLEH ANAK-ANAK SDIT AL USWAH MAGETAN
Sehat jasmani merupakan dambaan semua orang, karena dengan itu manusia bias merasakan indahnya kehidupan yang di berikan oleh Allah SWT. Manusia bias melakukan hal apa saja yang dia kehendaki, berbedadengan orang yang sakit. Untuk itu pada kesempatan kali ini anak-anak SDIT AL USWAH Magetan mengadakan HIKKING ke puncak gunung bancak, yang mana kegiatan seperti ini bertujuan untuk memupuk rasa anggung jawab, keberanian,kerjasama dan merenungi ciptaan-ciptaan Allah. Degan tema BERSAHABAT DENGAN ALAM anak-anak selain latihan fisik di dalamnya juga di muat edukasi tentang cinta lingkungan,ada yang menanam tanaman dan mengumpulkan sampah yang berada di sepanjang jalan naik gunung bancak, harapanya supaya jiwa cinta terhadap alam tertanam pada diri anak sejak dini. Adapun cerita tentang gunung bancak dapat di baca di bawah ini:
CERITA TENTANG GUNUNG BANCAK
Cerita tentang salah satu gunung atau perbukitan yang berada di wilayah Kabupaten Magetan. Gunung yang aku maksud adalah Gunung Bancak yang sudah begitu terkenal di Magetan ini.
Letak Geografis Gunung Bancak :
Gunung Bancak terletak diantara empat Kecamatan dari wilayah Kabupaten Magetan diantaranya :
1. Kecamatan Parang : Desa Sundul
2. Kecamatan Ngariboyo : Desa Banjarpanjang
3. Kecamatan Kawedanan : Desa Giripurno, Desa Ngentep
4. Kecamatan Lembeyan : Desa Krowe, Desa Pupus
Gunung Bancak : kumpulan banyak bukit
1. Kecamatan Parang : Desa Sundul
2. Kecamatan Ngariboyo : Desa Banjarpanjang
3. Kecamatan Kawedanan : Desa Giripurno, Desa Ngentep
4. Kecamatan Lembeyan : Desa Krowe, Desa Pupus
Titik koordinat dari Gunung Bancak Magetan berada di sekitar titik 27,43.01.28 LS dan 111,23.29.73 BT.
Gunung Bancak : kumpulan banyak bukit
Kalau Anda mencoba melihat keberadaan Gunung Bancak dari foto hasil pencitraan satelit, mungkin akan terlihat bahwa Gunung Bancah hanya terdiri dari dua bukit. Tetapi dalam kenyataanya Gunung Bancak sendiri terdiri dari banyak bukit yang berkumpul menjadi satu dan membentuk suatu pegunungan yang dinamakan Gunung Bancak. Masing masing bukit tersebut diberi nama sesuai dengan nama puncak dari bukit tersebut. Diantaranya :
1. Bukit Seprecet
2. Bukit Semunu
3. Bukit Sekelir
4. Puntuk Simun
5. Bukit Ceme
6. Bukit Selenguk, dll
1. Bukit Seprecet
2. Bukit Semunu
3. Bukit Sekelir
4. Puntuk Simun
5. Bukit Ceme
6. Bukit Selenguk, dll
Keadaan Alam
Dahulu sebagian besar tanah Gunung Bancak digunakan warga sekitar yang mempunya hak milik tanah di situ sebagai ladang yang sering ditanami ubi ubian untuk menopang kehidupan mereka. Tetapi sekarang seiring berkembangnya pengetahuan dan wawasan warga sekitar, ladang ladang yang dulu digunakan sebagai lahan pertanian sekarang dialih fungsikan sebagai hutan rakyat yang kebanyakan ditanami dengan pohon jati. Jadi kalau pada musim penghujan Gunung Bancak selalu berubah seperti layaknya hutan jati yang begitu lebat dan padat. Ditambah dengan tumbuh suburnya semak semak sehingga menjadikan Gunung Bancak seperti hutan belantara.
Untuk menopang pertanian masyarakat dan memudahkan mengangkutan hasil pertanian, sekarang ini di Gunung Bancak sudah ada akses jalan yang bisa dilewati oleh kendaraan semacam Truk untuk mengangkut kayu hasil hutan yang ada. Ada dua akses jalan yang membelah perbukitan di gunung ini yaitu :
- Jalan antara Desa Sundul Kecamatan Parang yang terhubung dengan Desa Giripurno Kecamatan Kawedanan.
- Jalan antara Desa Krowe Kecamatan Lembeyang yang terhubung dengan Desa Ngentep Kecamatan Kawedanan..
Dua akses jalan tersebut sangat membantu masyarakat sekitar untuk memperlancar mengangkut hasil pertanian dan hasil hutan.
Di tengah perbukitan Gunung Bancak ada semacam lembah yang lumayan luas dan datar yang digunakan sebagai lahan pertanian warga. Daerah itu lebih terkenal dengan daerah Telogo Asat ( telaga yang tidak ada airnya). Konon ceritanya dahulu memang ada yang mau membuat telaga di situ. Tetapi belum selesai karena keduluan oleh ayam jago yang berkokok, seperti layaknya asal usul tempat dan telaga dari daerah lain.
Makam Eyang Maduretno / Sarehan Ratu
Di Gunung Bancak tepatnya di Desa Giripurno ada makam peninggalan jaman kerajaan yang sangat terkenal yang oleh warga sekitar disebut sebagai Kuburan Ratu atau Sarean Ratu. Makam tersebut juga terkenal sebagai Makan Eyang Maduretno yang masih keturunan dari Kerajaan Surakarta.
Alkisah Konon pada waktu itu yang memegang kekuasaan di Kadipaten Maospati adalah Pangeran Rangga Dirja ketiga. Sang Pangeran memerintah dan menguasai suatu daerah yang cukup luas, meliputi beberapa katumenggungan, di antaranya Katumenggungan Sumarata, Genengan dan sebagainya.
Pada waktu itu Pangeran Rangga Dirja ketiga mempunyai seorang guru yang limpad dalam hal ilmu kebatinan serta keagamaan, yakni Kyai Mokhamad Basori. Pada waktu itu Pangeran Rangga Dirja ketiga berkeinginan hendak menaklukkan Kabupaten Magetan. Maksud dan niatnya ini disampaikan kepada gurunya, Kyai Mokhamad Basori. Namun Kyai Mokhamad Basori sama sekali tidak menyetujuinya, dan menyarankan supaya gagasan itu dihilangkan saja. Maksud dan keinginan hendak berperang melawan Magetan supaya dibatalkan.
Tetapi Rangga Dirja ketiga tetap bersikeras pada pendiriannya.. Tetap akan menaklukkan Magetan. Kecewa akan sikap muridnya yang keras kepala ini, maka Kyai Mokhamad Basori lalu pergi meninggalkan Kranggan.t Dan sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa, maka Kyai Mokhamad Basori lenyap tanpa bekas sama sekali.
Demikianlah Rangga Dirja ketiga tetap memerangi Magetan, Rupanya karena tidak mendapat restu dari sang guru, Rangga Dirja mengalami kegagalan untuk menaklukkan Magetan. Rangga Dirja ketiga kalah.
Sangatlah kecewa hati Pangeran Rangga Dirja ketiga atas kegagalannya tersebut. Maka, pergilah ia menghadap ayahandanya di Keraton Yogyakarta. Konon menurut kata yang empunya cerita, dalam menempuh perjalanannya ke Yogyakarta, ia melewati kota Delangu. Di sana ia melihat ada orang menggembalakan kambingnya yang sangat banyak. Di antara kambing itu, ada seekor yang sangat indah warnanya. Gusti putri Maduretna istri Pangeran Ranga Dirja sangat tertarik akan kambing yang elok tadi. Maka ia pun menyampaikan keinginannya untuk memiliki kambing itu, kepada suaminya. Rangga Dirja menjawab,
“Ya, walaupun kambing itu sangat indah, tetapi itu bukan milik kita”.
Namun Gusti Putri Maduretna tetap pada pendiriannya. Ia menangis, ingin memiliki kambing yang sangat elok itu. Karena sangat cintanya kepada istrinya, tak tegalah Pangeran Rangga Dirja ketiga membiarkan istrinya menangis. Maka dipanggilnyalah penggembala kambing itu, katanya,
“Kakek, kambingmu sangat banyak dan ada yang sangat baik, dan yang baik itu rupanya diingini oleh tuanmu putri. Seandainya kambing itu saya minta, apakah kamu rela? Orang,yang menggembala lalu menjawab” Tidak. Tidak tuan! Tuan beli pun tidak akan saya berikan.” Kemudian pangeran Rangga berkata lagi. “Dan kalau saya beli harganya berapa ?”
Orang yang menggembala kambing itu lalu menjawab lagi, “Walaupun tuan beli tidak akan saya berikan.”
Jawaban dari penggembala itu menjadikan beliau marah, dan orang yang menggembala kambing itu dibunuh.
Kemudian pangeran Rangga dan istrinya pergi ke Yogyakarta. Sepeninggal pangeran Rangga dan istrinya, lalu ada berita atau laporan dari keraton Sala, yang mengatakan bahwa pangeran Rangga Dirja telah membunuh seorang penggembala kambing, padahal kambing itu kepunyaan Keraton Sala.
Setelah itu Keraton Sala minta keterangan kepada Sultan Yogyakarta yang maksudnya bertanya, bahwa jika ada orang yang membunuh orang bagaimana menurut hukum dan harus diberi hukuman apa orang tersebut, maka Sultan Yogyakarta menjawab bahwa orang yang membunuh harus dibunuh. Kemudian Keraton Sala mengirim surat, ke Yogyakarta bahwa Pangeran Rangga Dirja harus dibunuh karena telah membunuh penggembala kambing.
Sultan Yogyakarta tidak tega untuk membunuhnya maka terpaksa putranya tadi disuruh pergi mengembara dengan diiringkan oleh Patih Danurejo dan disertai pesan yang berbunyi,
“Jika jauh supaya didekati dan jika dekat supaya dijauhi.”
Inilah kemudian Keraton Sala merasa sungkan lalu membuat surat rahasia yang diberikan kepada Patih Danurejo. Dalam surat itu Keraton Sala berkata kepada Patih Danurejo,
“Apa kamu tidak senang mengganti Sultan di Yogyakarta, sebab Sultan Yogyakarta sudah lanjut usia. Nanti jika Sultan sudah meninggal dan Pangeran Rangga Dirja masih hidup beliau pasti akan menggantikan
Sultan Yogyakarta. Dan seandainya Pangeran Rangga Dirja sudah tiada pasti kamu yang akan diangkat menjadi Sultan Yogyakarta.” Setelah Patih Danurejo mengetahui hal itu maka beliau menjadi sangat bangga.
Kemudian Pangeran Rangga Dirja lalu diserangnya dan dibunuh. Setelah itu mayatnya dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup Yogyakarta. Sedangkan Putri Maduretna yang telah menderita sakit ditanya oleh gurunya sendiri yang bernama Kyai Mochamad Kayah, seorang alim ulama,
“Nek, . . . nanti jika sudah datang waktunya sebaiknya dimakamkan di mana ?”
“Yang baik supaya dimakamkan di puncak gunung Ngrancang Kencana/Gunung Bancak” jawab Putri Maduretna.
Setelah itu Gusti Maduretna kemudian meninggal dunia dan seperti yang dimintanya, beliau dimakamkan di puncak gunung Bancak. Menurut dongeng selanjutnya makam tadi dibangun menjadi sebuah cungkup, malahan yang dipergunakan untuk tiang cungkup itu ialah pohon sana yang besar-besar, dan batu merahnya mulai dari Maospati sampai di puncak gunung Bancak, cara mengangkutnya dilakukan dengan jalan beranting yaitu orang-orang berbaris berjejer-jejer dari Maospati sampai di puncak gunung Bancak itu dengan membawa sebuah batu bata yang kemudian diberikan kepada orang di sebelahnya. Demikian terus menerus akhirnya sampai berupa cungkup yang amat besar.
Berhubung Gusti Putri Maduretna dimakamkan di Giripurno, ini sudah barang tentu para kerabat dari ratu mempunyai pikiran, siapa yang harus disuruh menjaga dan memelihara makam itu.
Karena pada waktu itu orang yang paling tua umurnya di Bancak ini bernama Truno Sapa lalu para sanak saudara ingin agar Truno Sapa saja yang disuruh menjaga atau memelihara dan membersihkan sekitar desa Giripurno yang luasnya 405 ha. Dan ini sudah sebagai upah atas jerih payah orang yang disuruh menjaga tadi.
Mengingat Gusti Putri Maduretna sudah memeluk agama Islam dan Truno Sapa masih memeluk agama Budha, sudah barang tentu hal ini tidak cocok, sebab orang yang beragama Budha menjaga dan memelihara orang yang beragama Islam, dan selanjutnya ada laporan dari Truno Sapa bahwa dari keluarga Truno Sapa tidak menyetujui, jadi Truno Sapa tidak jadi memegang kepala Perdikan itu. Kemudian cara yang baik mengambil alim ulama dari Klantangan Magetan yang bernama
Kyai Nur Suhada yang disuruh menjaga dan memelihara makam Gusti Putri Maduretna yang kemudian diberi upah seperti yang telah disebutkan di atas yaitu berupa tanah yang luasnya 405 ha. Ia juga dibebani tugas agar membuat tata tertib desa itu dan selanjutnya Kyai tadi bernama Kyai Puru Kunci, yang juga kepala Perdikan.
Kalau anda seorang pecinta alam daerah pegunungan ini bisa dijadikan pilihan untuk mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan wisata alam dan penjelajahan. Panorama alamnya yang indah bisa menjadi alternatif untuk mengisi liburan anda sambil belajar mengenal alam dan belajar lebih bersahabat dengan alam.
9 April 2016 oleh Apung
9 April 2016 oleh Apung
0 Komentar